Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
Hari Raya Idul
Fitri sebagai epos penyempurna pascapuasa Ramadan menjadi sangat berarti
ketika kemerdekaan kembali direngkuh. Manusia sebagai insan yang tidak
pernah lepas dari salah dan lupa akan menemukan fitrahnya kembali
apabila hari kemenangan ini dapat kita maknai dengan sungguh-sungguh.
Bukan sekadar ritual yang habis manis sepah dibuang. Atau bergembira ria
di hari Lebaran, selepas salat Ied berlalu segala sifat, mentalitas,
dan perbuatan buruk mencuat kembali dan menorehkan tinta hitam di kertas
putih dan suci.
"...dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS al-Baqarah:185)
Pertanyaannya,
apakah title ‘manusia suci’ itu hilang pasca perayaan Idul Fitri?
Pertanyaan itu mengemuka tak kala banyak di antara kita yang
perlahan-lahan mulai menghilangkan semangat beribadah bulan suci
Ramadan. Semangat beribadah yang menggebu-gebu di saat bulan Ramadan
seakan-akan tertelan dengan kesibukan mengejar material duniawi.
Patut
diakui, meraih kemenangan apapun bentuknya seakan lebih mudah daripada
menjaga kemenangan itu sendiri. Hiruk pikuk kehidupan duniawi
seakan-akan membius umat Islam untuk kembali berprilaku menyimpang dari
agama. Jika demikian, maka kita termasuk orang-orang yang merugi.
Berpuasa
yang bermakna al-imsak atau menjaga atau menahan hawa nafsu sehingga
tidak menimbulkan kerusakan tentu tidak berarti apa-apa. Puasa selama 1
bulan penuh yang seharusnya bisa menjadi spirit bagi kita untuk tetap
bisa terjaga dan terhindar dari prilaku kerusakan dan kejahatan, hanya
sekadar rutinitas tahunan saja. Jiwa Ramadan benar-benar tidak kita
peroleh.
Sepatutnya kita berbangga ketika diberikan kesempatan
mengikuti ‘pelatihan spiritual’ selama bulan suci Ramadan lalu. Sebab,
selama bulan Ramadan, kita dilatih untuk imsak‘an (menahan diri) dan
imsak bi (berpegang teguh kepada perintah Allah SWT dan Rasul-Nya).
Prof
Jalaludin Rahmat juga mengartikan orang yang imsak bi berarti orang
yang memiliki keyakinan yang dipegang teguh. Ia berusaha tegak di atas
keyakinan itu. Sekali ia memutuskan sesuatu yang benar, ia akan
mempertahankannya dengan seluruh hidupnya.
Dalam berpuasa itu,
umat Islam dilatih menjadi manusia imsak bi, manusia yang mempertahankan
keyakinan. Selama Ramadan kita dilatih kejujuran; untuk bersikap dan
berkata jujur. Bisa saja kita makan dan minum seenaknya di tempat tempat
yang tertutup dan sunyi yang tidak terlihat oleh siapapun. Akan tetapi
karena kita yakin bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, dan hati kita
bersikap jujur.
Sepatutnya pula ‘materi-materi’ pelatihan itu
terus kita aplikasikan selama 11 bulan ke depan. Nilai-nilai Ramadan
dapat menjadikan kita sebagai manusia yang dapat menghindari kepribadian
al mutalawwin (bunglon) dan mempertahankan konsistensi. Tidak mudah
menjadi manusia yang dapat menjaga konsistensi, terlebih konsistensi
beribadah di bulan suci Ramadan. Tidak salah jika ada yang menilai
konsistensi adalah sifat langka dan mahal saat ini.
Menjaga sikap
konsisten diumpamakan seperti memegang bara api menyala. Digenggam
tangan terbakar, jika dilepas bara terancam padam. Tidak banyak umat
Islam yang mau dan mampu menjalankannya. Melalui tulisan ini, ada
baiknya saya menghimbau kepada umat Islam untuk tetap menjaga
konsistensi semangat Idul Fitri. Semangat meraih kemenangan dan
kesucian. Semangat menjadi manusia yang bertakwa. Amien.
Sumber: Republika
Minggu, 25 Juni 2017
Home
/
Idul Fitri
/
Keluarga. Refleksi
/
Peringatan Hari Besar Islam
/
Ramadhan
/
Menjaga Semangat Idul Fitri
Menjaga Semangat Idul Fitri
About Masjid Baitul Abror
Kami adalah Masjid Baitul Abror Paninggaran Kecamatan Paninggaran Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah yang berada di tepi Jalan Raya Paninggaran Pekalongan, tepatnya di KM 148 Semarang/KM 47 Pekalongan/KM 13 Kalibening.
Ramadhan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar